Anak Kesayangan - Bab 01
Pada Jumat malam itu, aku pulang ke rumah 20 menit lebih awal. Rumah sunyi sepi. Ryan, anak lelakiku, pastinya belum pulang. Aku memutuskan untuk mengganti baju yang lebih nyaman. Keputusan sederhana itu memulai rangkaian peristiwa yang mengubah hidupku selamanya.
Saat aku masuk ke kamar, aku terpaku tak bergerak. Aku melihat Ryan sedang berbaring di atas ranjangku, telanjang bulat. Satu tangannya menggenggam erat batang penisnya yang panjang, matanya terpejam, dan dia mengocok penisnya dengan cepat. Seharusnya aku keluar dari situ, tapi aku terlalu terkejut dan terpesona dengan aksi tersebut.
Rasanya seperti sudah lama, padahal baru sekitar 10 detik berlalu sebelum anakku mulai mengerang. Dia mengocok penisnya dengan ganas dan cepat, membuat erangannya semakin keras. Tiba-tiba tubuhnya mengeras dan air maninya terpancar ke dada dan perutnya.
“Uuuhhg, Yesss, Ibu, Ryan sudah penuhkan vagina Ibu dengan air mani Ryan,” keluh anakku.
“Hahh?!,” aku terpaku. Terkejut dengan kenyataan bahwa aku adalah subjek fantasinya.
Begitu aku mengeluarkan kata-kataku tadi, mata anakku terbuka lebar. Dia berpaling ke arahku dengan wajah ketakutan. Itu bukan sesuatu yang lucu, tapi aku berusaha menahan diri dari tertawa. Dia masih memancarkan air maninya dan mencoba menghentikannya dengan tangannya. Air maninya memercik ke telapak tangannya dan memantul tak tentu arah.
Dia langsung bangun, telapak tangannya masih menutup penisnya. Aku berdiri di tengah pintu, satu-satunya jalan keluar dari kamar tersebut.
“Ryan minta maaf, Bu,” dia merayu dan berjalan ke arah pintu.
Aku terpaku di tempatku berdiri saat melihat dia berjalan ke arahku, dengan air maninya menetes ke lantai. Dia menyelinap di tepi tubuhku dan keluar. Aku memutar badan dan melihat punggungnya saat dia bergerak ke ruang tamu dan masuk ke kamarnya. Aku kehilangan kata-kata akibat dari apa yang telah kulihat tadi.
Menjadi seorang ibu tunggal bukanlah sesuatu yang mudah. Suamiku meninggal dalam kecelakaan saat anakku berumur 5 tahun, 13 tahun lalu. Aku duduk di atas ranjang dan menarik napas dalam, berperang dengan perasaanku.
Jujur saja, aku akui terkadang aku tidak dapat menahan rasa gairahku. Aku memang ingin batang penis lelaki memenuhi ruang vaginaku yang sudah lama gersang.
Aku pernah mencoba bercinta, tetapi sayangnya terhenti di tengah jalan. Setelah itu, aku mengganti pakaian dan menuju ruang makan. Saat melewati kamar anakku, aku memanggilnya,
“Ibu ingin pesan pizza untuk makan malam ini. Ryan mau pilih yang mana?”
Suasana hening sejenak menyelimuti sebelum aku mendengar jawaban anakku, “Ryan nggak masalah, Bu.” Aku bisa merasakan rasa malu yang menggelayuti hatinya akibat peristiwa tadi. Ketika pesanan pizza tiba, aku memanggilnya kembali, “Ryan, pizza sudah sampai. Ayo makan.”
Hatiku terasa pilu melihat anakku keluar dari kamarnya. Dengan kepala menunduk, dia meminta maaf lagi sebelum duduk di meja makan. Kami menikmati makan malam dalam keheningan. Pertanyaan-pertanyaanku dijawabnya dengan sepatah kata. Wajahnya masih merah, dan dia tidak berani menatapku.
Setelah makan, anakku kembali ke kamarnya. Aku yakin dia sangat ketakutan. Dengan lembut, aku memintanya untuk keluar dan menonton TV bersamaku.
Larut malam, Ryan berkata, “Ryan mau tidur dulu, Bu. Selamat malam.”
“Selamat malam, sayang,” balasku.
Aku merasa perlu menenangkan hatinya. Sebelum naik ke ranjang, aku memutuskan bahwa aku tidak boleh membiarkan keadaan ini berlanjut. Aku mengenakan kaus panjang untuk menutupi tubuhku dan langsung menuju kamarnya.
“Ryan, boleh nggak Ibu bicara sebentar?” tanyaku.
“Boleh, masuklah, Bu.”
Anakku sudah berbaring di ranjangnya, selimut ditarik hingga ke dada, dan dia tidak mengenakan baju. Mungkin dia telanjang, pikirku. Aku segera mengusir pikiran itu dari benakku dan duduk di sampingnya. Dengan lembut, aku mengusap rambutnya seperti saat dia masih kecil dan berkata, “Ryan, cobalah untuk tidak merasa malu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan; semua orang pernah mastrubasi, kan?”
“Ryan tahu,” jawabnya. Dia menatap lantai dan menambahkan, “Tapi, Ibu lihat Ryan, uhm, ahh, saat Ryan melakukannya dan uhm, uhm, Ibu lihat Ryan telanjang.”
Ryan mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya menyusuri betis dan pahaku, sebelum berhenti di dadaku. Aku merasakan putingku mulai mengeras ketika dia mengamati lekuk tubuhku. Meskipun kaus panjangku terbuat dari kain tipis yang cukup untuk menutupi dadaku dari pandangan luar, kaus itu cukup ketat dan mengungkapkan bahwa aku tidak mengenakan bra.
Aku melihat matanya mengikuti gerakan dadaku saat mereka sedikit bergoyang saat aku berdiri. Aku berbalik dan berjalan ke pintu. Aku menoleh ke belakang dan melihat anakku menatap kakiku.
“Selamat malam sayang, I love you,” kataku.
“I love you too,” balasnya.
Aku menutup pintu dan langsung ke kamarku.
Keesokan harinya, keadaan masih tidak berubah. Ryan masih tampak murung. Dia banyak menghabiskan waktu di kamarnya. Malamnya sebelum tidur, aku ke kamarnya lagi.
“Ryan, kita perlu menyelesaikan masalah ini. Seperti yang Ibu katakan semalam, semua orang melakukan masturbasi. Ryan merasa malu karena Ibu pernah melihat Ryan telanjang. Tapi, siapa yang selalu mengganti popok Ryan kalau bukan Ibu?”
“Itu beda, Bu. Kan waktu itu Ryan masih kecil.”
“Nggak ada bedanya, Ryan. Lagipula, setelah ayah meninggal, Ibu pernah lihat penis laki-laki lain sekali dua kali,” jawabku dengan tenang.
Aku menatap wajahnya, tapi matanya menatap tak berkedip ke arah dadaku. Aku merasa penisnya sedang menegang di bawah selimut. Kemaluanku mulai lembap mengetahui aku menjadi fantasi seksnya. Aku menarik napas dalam, dan meletakkan telapak tanganku di dadanya. Jantungnya terasa berdebar kencang.
Aku mulai mengusap lembut dadanya dan berkata, “Masturbasi adalah bagian dari tumbuh dewasa, semua orang melakukannya. Ibu rasa yang terbaik adalah kita keluarkan anggota badan Ryan yang sedang tersiksa ini.”
Aku menarik turun selimutnya, memperlihatkan batang penisnya yang sudah tegang.
“Ibu, apa yang Ibu lakukan?” teriak anakku. Tangannya cepat-cepat menutupi penisnya.
“Ibu mau tunjukkan tidak salah kalau kita masturbasi. Ibu rasa kalau Ibu bantu Ryan masturbasi kali ini, mungkin malu Ryan akan berkurang=. Sekarang, alihkan tangan Ryan. Ibu mau lihat batang yang sudah tegang itu.”
Ryan mengalihkan tangannya dan batang penisnya yang tegang terlihat di mataku.
“Besar sekali” kataku, berharap bisa membangun kepercayaan dirinya.
Aku memegang tangannya dan meletakkannya kembali ke batang penisnya. Lalu perlahan aku memandu tangannya bergerak naik turun di sepanjang batangnya sebelum melepaskan tanganku.
“Ryan teruskan kocok. Kocok sampai Ryan keluar.”
Ryan menatapku dan aku tersenyum. Anakku mulai mengocok dengan cepat. Gerakan tubuhnya mulai tidak terkendali. Tiba-tiba dia berhenti dan mengalihkan tangannya.
“Kenapa Ryan?” tanyaku.
“Ryan mau uhm, ahh, umm…”
“Itu tujuan kita kan. Ryan mau keluar, ya?” Aku membungkuk sedikit dan memegang batang penisnya. Aku mulai mengocok perlahan dan bertanya, “Bagaimana rasanya, Ryan?”
Yang bisa anakku lakukan hanyalah mengeluarkan erangan pelan. Pinggulnya mulai tersentak dan kocokanku semakin cepat.
“Ibu mau Ryan keluar untuk Ibu,” kataku padanya.
Erangannya semakin keras. Tiba-tiba aku mendengar jeritan halus anakku.
“Ryan mau keluar, Bu.”
Aku memijat lembut telurnya dengan tangan yang satunya dan menambah kecepatan kocokanku. Tiba-tiba tubuhnya mengeras dan keluhan berat keluar dari bibirnya. Aku bisa merasakan telurnya berdenyut dan pancaran pertama air maninya keluar dari ujung penisnya.
“Uhhg,” keluhnya lagi saat air maninya memancar lagi.
Aku terus mengocok perlahan batangnya, memerahnya hingga kering.
“Tidak ada yang perlu dirisaukan, Ryan.” kataku sambil tersenyum dan melihat penisnya yang mulai melunak. Air maninya masih tersisa di ujung penisnya dan di perut dan dadanya.
“Biar Ibu bersihkan,” kataku.
Dia menatapku dari atas ke bawah saat aku berdiri, menatap kakiku dan ayunan dadaku. Aku mengenakan kaus panjang yang sama seperti malam sebelumnya dan bisa merasakan putingku yang mengeras di balik kain tipis itu.
Aku kembali dengan sehelai handuk kecil, dan aku melihat mata anakku tertuju pada puting kerasku yang terlihat jelas. Dia tidak bergerak, batang penisnya yang mengecil masih terpapar. Aku menyerahkan handuk itu kepadanya dan berkata, “Bersihkan tubuhmu dan setelah itu tidur.”
Dia tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Bu, atas segalanya.” Aku hanya tersenyum puas. Aku kembali ke kamarku dan menutup pintu. Aku melepas bajuku dan naik ke atas tempat tidur. Tanganku dengan cepat menuju ke arah kemaluanku.
“Sekarang giliranku,” pikirku. Aku memasukkan satu jari ke dalam rongga kemaluanku, melumurkannya dengan cairan kenikmatanku. Aku kemudian mulai menggosok kelentitku. Aku memijat puting kiriku dan menggosok kelentitku lebih cepat. Aku mendesah pelan dan “Yesss,” aku mencapai puncak orgasemeku. Setelah kenikmatan puncakku reda, aku tertidur nyenyak sambil tersenyum.